PERISTIWA PERLAWANA INDONESIA
Peristiwa Merah Putih di Manado
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak berarti kondisi negara kita langsung berada dalam tahap yang aman dan tentram. Serangkaian insiden dan pertempuran berdarah masih terjadi dalam masa – masa mempertahankan kemerdekaan tersebut. Tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, pertempuran – pertempuran di masa setelah kemerdekaan juga terjadi di pulau – pulau lainnya antara lain di Sulawesi, tepatnya di Manado. Peristiwa ini menjadi salah satu rangkaian kejadian penting yang turut andil membentuk Republik Indonesia
Para pemuda yang bergabung dalam pasukan KNIL kompi VII pimpinan Ch. Taulu bekerja sama dengan rakyat merebut kekuasaan di Manado, Tomohon dan Minahasa pada 14 Februari 1946. Hasilnya sekitar 600 orang pasukan serta pejabat Belanda berhasil mereka tahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 dikeluarkan selebaran yang menyatakan kekuasaan seluruh Manado telah berada di tangan Indonesia. Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Merah Putih.
Latar Belakang Peristiwa
Sejarah peristiwa merah putih di Manado berawal dari kekalahan Jepang yang secara resmi sudah diakui kepada Pasukan Sekutu sejak pertempuran di Pasifik pada Juli 1944. Sam Ratulangi mengirim para pemuda untuk pergi ke Manado pada saat yang berdekatan untuk mengawasi situasi. Dua diantara para utusan itu adalah Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw dari utusan tentara, serta perwakilan pemuda yaitu Wim Pangalila, Buce Ompi, dan Olang Sondakh. Dua bulan setelah pengutusan tersebut, mendadak muncul pesawat pembom B-29 milik Angkatan Udara Sekutu yang berjumlah puluhan dan menghujani Manado dengan bom, menghancurkan dan merenggut nyawa penduduk. Jepang kemudian mencurigai adanya mata – mata Sekutu yang juga berperan sebagai tokoh Nasionalis.
Pada September 1944 pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai juga takluk kepada Jenderal Mac Arthur. Kemudian pada pertengahan April 1945 sampai awal Februari 1945 juga masih terjadi banyak konflik di area tersebut. Sebagaimana wilayah lain di Indonesia, Sulawesi juga akan diambil alih oleh pasukan Sekutu, namun pada tanggal 21 Agustus 1945 wilayah tersebut sudah diserahkan oleh tentara Jepang kepada E.H.W. Palengkahu yang merupakan petinggi Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Belanda bersama NICA yang berada di bawah perlindungan sekutu berencana kembali menduduki Indonesia Timur khususnya Sulawesi Utara.
Pada saat ini John Rahasia dan Wim Pangalila kemudian melihat adanya kesempatan untuk melakukan revolusi yang dilakukan oleh pemuda – pemuda Manado. BPNI kemudian bekerja sama secara diam – diam dengan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL dalam rangka merebut kekuasaan dari penjajah. Pada masa itu KNIL telah lepas dari kepentingan Belanda dan berpihak pada tanah air mereka sendiri. Ketahui juga mengenai sejarah hari Ayah, sejarah hari Kartini dan Biografi Habibie singkat.
Peristiwa Hotel Yamato
Hotel Yamato Surabaya/ Yamato Hoteru/ Oranje Hotel yang sekarang bernama Hotel Majapahit Surabaya terletak di jalan Tunjungan no. 65 Surabaya setelah kronologi Perang Dunia II. Peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi bendera merah putih terjadi di hotel ini pada tanggal 19 September 1945 karena perundingan antara residen Surabaya bernama Sudirman dan Mr. W.V.Ch. Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda mengalami kegagalan. Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada tanggal 31 Agustus 1945 untuk menetapkan bendera Merah Putih sebagai bendera nasional yang harus terus dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Seluruh pelosok kota Surabaya juga turut melakukan gerakan pengibaran bendera tersebut di berbagai lokasi strategis. Lokasi pengibaran bendera antara lain adalah teras atas Gedung Kantor Karesidenan ( kantor Syucokan, gedung Gubernuran di jalan Pahlawan), di atas Gedung Internatio, juga banyak pemuda yang datang dari segala penjuru Surabaya membawa bendera ke Tambaksari (lapangan stadion Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa oleh Barisan Pemuda Surabaya. Rapat tersebut dipenuhi lambaian bendera merah putih dan pekikan ‘Merdeka’ oleh massa yang terdiri dari para pemuda. Pihak Kempeitai melarang rapat tersebut namun tidak berdaya untuk menghentikan dan membubarkan massa. Puncak dari kegiatan pengibaran bendera tersebut adalah peristiwa Hotel Yamato berupa insiden perobekan bendera. Biografi Bung Tomo sebagai salah satu pemimpin pada saat itu pun banyak dikenal orang hingga saat ini.
Sekilas Mengenai Hotel Yamato
Hotel Yamato yang menjadi pusat dari peristiwa Hotel Yamato telah berdiri sejak masa Hindia Belanda, tahun 1910 oleh Sarkies bersaudara yang berasal dari Armenia. Pada masa itu mereka sudah terkenal sebagai perintis jaringan hotel di Asia Tenggara dan telah membangun sejumlah hotel di Malaysia, Singapura dan Myanmar. Hotel pertama kali beroperasi pada 1911 dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang – orang kaya. Hotel ini pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dikenal dengan nama Hotel Oranje. Nama Yamato digunakan sejak tentara Jepang mengusir Belanda dan menguasai Indonesia pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Yamato mengacu kepada pemimpin pasukan Jepang yang tinggal disana pada tahun 1942 – 1945 bersama sekitar 200 orang yang menjaga keamanannya termasuk polisi Kempetai Jepang.
Sejaran pembentukan PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau atau dalam bahasa Jepang disebut Dookuritsu Junbi Iinkai adalah panitia yang bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI setelah BPUPKI dibubarkan Jepang pada 7 Agustus 1945. Selain itu, PPKI juga bertugas meresmikan pembukaan atau preambule dan batang tubuh UUD 1945. PPKI diresmikan oleh Jendral Terauchi pada 9 Agustus 1945 di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Peresmian ini dihadiri oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Keanggotaan PPKI
PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno, dengan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Anggotanya sendiri berjumlah 21 orang yang merupakan tokoh utama pergerakan nasional Indonesia. Anggota PPKI terdiri dari berbagai etnis Nusantara, meliputi 12 orang etnis Jawa, 3 orang etnis Sumatera, 2 orang etnis Sulawesi, 1 orang etnis Kalimantan, 1 orang etnis Nusa Tenggara, 1 orang etnis Maluku, dan 1 orang etnis Tionghoa.
Yang termasuk anggota PPKI antara lain: Mr. Soepomo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R. P. Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Abdoel Kadir, Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran Poerbojo, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr. GSSJ Ratulangi, Andi Pangerang, A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr. Johannes Latuharhary, Drs. Yap Tjwan Bing. Kemudian, tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang, anggota PPKI bertambah lagi 6 orang, yaitu: Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A. A. Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo, Iwa Koesoemasoemantri.
Golongan muda memberikan sikap tidak suka pada PPKI. Mereka menganggap PPKI sebagai suatu badan bentukan pemerintah pendudukan militer Jepang yang sudah tentu memihak Jepang. Akan tetapi, di lain pihak, PPKI adalah sebuah badan yang sangat berguna dalam mempersiapkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan Indonesia merdeka, perlu dipersiapkan segala macam keperluan bagi berdirinya suatu negara. Meski demikian, baik cepat atau lambat, kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan oleh pemerintah Jepang tergantung kepada kerja PPKI.
Pada akhirnya, Jendral Terauchi memberikan keputusan bahwa pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan kemerdekaan Indonesia tersebut diserahkan sepenuhnya kepada PPKI.
PPKI semula berencana mengadakan sidang pada 16 Agustus 1945, tetapi tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok ini berhubungan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu (15 Agustus 1945) sehinggga golongan muda mendesak agar segera mempersiapkan kemerdekaan. Golongan pemuda yang termasuk di dalamnya Soekarni, Adam Malik, Kusnaini, Sutan Sjahrir, Soedarsono, Soepomo, dan kawan-kawan mendesak Ir. Soekarno agar segera mengumandangkan proklamasi. Namun sebaliknya, golongan tua menolak dengan alasan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dipersiapkan secara matang.
Sidang PPKI
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan persidangan di bekas Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon. Dalam sidang tersebut, dalam hitungan belasan menit terjadi permusyawarahan antara kelompok yang berbeda pendapat mengenai sila pertama Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Piagam Jakarta. Kelompok keagamaan non-Muslim dari Timur dan kelompok kaum keagamaan penganut ajaran kebatinan serta golongan nasionalis keberatan terhadap tujuh kata itu, sehingga mereka meminta kelapangan hati para tokoh dari kelompok Islam agar bersedia dilakukan bengubahan. Pada akhirnya permusyawarahan itu berhasil membujuk pihak tokoh-tokoh golongan Islam agar bersedia menghapuskan tujuh kata sila pertama Pancasila yang tertuang dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dan menggantinya.
Setelah itu, Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang PPKI melakukan pembacaan tentang empat perubahan hasil kesepakatan dan kompromi atas perbedaan pendapat para golongan tersebut. Hasil sidang tersebut adalah:
- Kata “Muqaddimah” yang merupakan kata bahasa Arab pada preambule Undang-Undang Dasar diganti dengan kata “Pembukaan”.
- Pada Pembukaan alenia keempat, berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ini sekaligus mengganti sila pertama Pancasila.
- Pada Pembukaan alenia keempat, kalimat “Menurut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” diganti menjadi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini sekaligus mengganti sila kedua Pancasila.
- Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” diganti menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.
Sidang pertama PPKI menyepakati hasil antara lain:
- Melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Setelah sebelumnya terjadi sedikit perubahan di dalamnya.
- Memilih, menetapkan, dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Keputusan akhirnya ditetapkan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
- Untuk sementara waktu, presiden dibantu oleh komite bernama KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebelum DPR dan MPR dibentuk.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, diadakan sidang kedua PPKI. Hasil sidang kedua tersebut menghasilkan:
- Membentuk kabinet yang terdiri atas 12 Kementrian dan 4 Mentri Negara.
- Membentuk Pemerintah Daerah, yang tiap-tiap daerah dipimpin oleh seorang Gubernur.
Selanjutnya, sidang ketiga PPKI dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 1945. Hasil sidang ketiga PPKI antara lain:
- Pembentukan Komite Nasional di samping telah adanya Komite Nasional Indonesia Pusat.
- Pembentukan Partai Nasional sebagai partai politik.
- Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Demikianlah PPKI sebagai panitia yang mempersiapkan pemerintahan Indonesia merdeka. Sidang-sidang PPKI itu kemudian menghasilkan dan membentuk apa yang dibutuhkan bagi suatu negara yang telah berdiri.
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok adalah sebuah peristiwa yang terjadi sangat dekat dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Peristiwa ini juga boleh dibilang sebagai momen yang sangat krusial untuk menyelesaikan perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Peristiwa ini boleh dibilang sebagai tahap penyelesaian. Kita sebagai bangsa Indonesia wajib menghargai perjuangan para pahlawan, karena tanpa mereka mungkin kita tidak akan merdeka seperti saat ini.
Latar Belakang Peristiwa Rengasdengklok
Latar belakang peristiwa Rengasdengklok yang paling pertama adalah kekalahan bangsa Jepang, yang pada itu menjajah bangsa Indonesia. Jepang menyatakan dirinya kalah perang setelah kota penting mereka yaitu Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh Amerika Serikat.
Kekalahan tersebut pada akhirnya mampu tercium oleh para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Jepang pun pada akhirnya sudah mendirikan suatu komite yang terdiri dari orang orang Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya.
Beberapa golongan menilai bahwa komite tersebut masih tidak lepas dari tangan bangsa Jepang, sehingga golongan ini ingin melakukan usaha perjuangan kemerdekaan tanpa campur tangan bangsa Jepang sedikitpun. Hal inilah yang menjadi latar belakang kedua dari terjadinya peristiwa Rengasdengklok.
Latar belakang selanjutnya adalah adanya perbedaan pendapat yang terjadi antara golongan muda dan golongan tua dalam rangka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Golongan tua lebih setuju untuk menunggu proses perundingan dengan komite panitia kemerdekaan yang telah disusun oleh bangsa Jepang, untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Sementara golongan muda lebih setuju untuk segera langsung memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa menunggu keputusan panitia kemerdekaan bentukan Jepang (PPKI). Golongan muda sangat ingin untuk merealisasikan hal ini, karena melihat posisi kekalahan Jepang dan terjepit itu sebagai sebuah kesempatan emas.
Tujuan Peristiwa Rengasdengklok
Tujuan dari peristiwa ini tidak lepas dari peran para anggota muda yang ingin segera menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin. Para anggota muda ini ingin mengamankan para tokoh tua ke suatu tempat yang aman.
Tempat yang aman ini jatuh kepada Rengasdengklok, yang berada di daerah Karawang provinsi Jawa Barat. Golongan tua yang nantinya menjadi presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia ini diamankan ke dalam sebuah rumah sederhana milik petani.
Rengasdengklok dipilih karena dinilai sebagai tempat yang paling aman di antara tempat yang lainnya. Tempat ini dinilai dapat menghindarkan para golongan tua dari intervensi pihak luar.
Rengasdengklok dinilai paling aman karena berdasarkan perhitungan secara militer, tempat ini jauh dari daerah Jakarta dan juga Cirebon. Wilayah Rengasdengklok juga dipilih karena tempat ini dapat dengan mudah mengawasi pergerakan tentara Jepang dari arah Jakarta dan juga Bandung.
Kronologi Peristiwa Rengasdengklok
Kronologi peristiwa Rengasdengklok tidak lepas dari pengumuman bangsa Jepang oleh Kaisar Hirohito pada tanggal 14 Agustus tahun 1945, tepat sekitar seminggu setelah proses pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu, yang diprakarsai oleh Amerika Serikat.
Para pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang yang bernama Domei, dengan cepat merespon berita tersebut sebagai kabar baik, dan diteruskan kepada rekan rekannya di tanah air.
Sementara golongan tua belum tahu akan hal tersebut, padahal pada saat itu wakil dari golongan ini yaitu Ir. Soekarno, dan M. Hatta sedang berunding dengan Panglima tertinggi Jepang di wilayah Asia Tenggara Marsekal Terauchi.
Para golongan muda tersebut langsung mendesak para golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan namun terjadi perbedaan pendapat. Akhirnya berdasarkan keputusan rapat pada tanggal 16 Agustus tahun 1945 yang diikuti oleh Soekarni, Mawardi, dan Shudanco Singgih, memutuskan untuk segera mengamankan para golongan tua seperti Soekarno, dan M. Hatta.
Shudanco diputuskan untuk diberi tugas menculik kedua golongan tua tersebut. Proses penculikan ini juga tidak lepas dari bantuan militer, dan pihak militer lainnya. Para golongan tua yang diculik itu akhirnya diamankan ke Rengasdengklok sehari penuh.
Ketidak beradaan Soekarno dan M. Hatta di Jakarta membuat anggota kelompok tua lainnya Ahmad Soebardjo untuk mencari keberadaan kedua orang tersebut. Akhirnya para golongan tua pun tahu kalau rekannya tersebut diculik oleh para golongan muda.
Sehingga dilakukanlah perundingan antara golongan tua yang diwakili oleh Ahmad Soebardjo, dan Wikaan dari golongan muda. Hasil pertemuan tersebut adalah keduanya menyatakan sepakat untuk segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kesepakatan itu juga tidak lepas dari syarat syarat tertentu, pertama golongan tua menuntut golongan muda untuk membawa kembali Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Kedua golongan muda menuntut untuk dilakukannya pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ada campur tangan sedikit dari pihak Jepang.
Pada akhirnya para golongan tua yang diwakili oleh Jusuf Kunto, dan Ahmad Soebardjo menjemput Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok sambil didampingi oleh Sudiro.
Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta pada jam 11 malam tanggal 16 Agustus 1945, dan singgah di rumah Laksamana Maeda yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol no. 1, Menteng. Lokasi ini dinilai aman karena kedudukan Laksamana Maeda sebagai kepala kantor penghubung harus dihormati, dan jauh dari intervensi militer.
Soekarno dan Hatta beserta anggotanya sudah sangat semakin yakin untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas dari tangan Jepang. Pasalnya sesaat setelah mereka kembali ke Jakarta, mereka juga telah melakukan perundingan dengan pihak Jepang, namun Jepang tidak sepenuhnya setuju. Akhirnya setelah itu Soekarno dan Hatta beserta rekan rekan lainnya, segera menyusun naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
Pada saat penyusunan naskah proklamasi terjadi lagi ketegangan antara golongan muda dan golongan tua yang dinilai sebagai budak bangsa Jepang oleh golongan muda. Ketegangan itu terjadi dalam rangka menentukan siapa yang akan menandatangani teks proklamasi tersebut. M. Hatta mengusulkan bahwa semua hal yang hadir pada saat itu ikut menandatangani naskah tersebut, mencontoh proklamasi kemerdekaan bangsa Amerika Serikat.
Pertempuran 5 hari di Semarang
Pertempuran Lima Hari di Semarang dikenal dengan istilah Pertempuran Limang Dina dalam bahasa jawa, adalah serangkaian pertempuran yang berlangsung antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang. Pertempuran yang menjadi bagian dari sejarah kota Semarang ini terjadi pada tanggal 15 – 19 Oktober 1945. Waktu itu adalah masa transisi kekuasaan dari Jepang ke Belanda, dan seharusnya kekuasaan Jepang di Indonesia sudah berakhir. Penyerahan diri Jepang terhadap sekutu dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan RI dibacakan pada 17 Agustus 1945. Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai penguasa Republik di Jawa Tengah berpusat di Semarang untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang dalam segala bidang. Kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Penyebab Peristiwa Lima Hari Di Semarang
Peristiwa lima hari di Semarang terjadi karena beberapa alasan yang menjadi pemicunya hingga mencapai puncak berupa pertempuran selama lima hari tersebut. Beberapa hal yang menjadi penyebab pertempuran 5 hari di Semarang yaitu:
- Kericuhan Penyitaan Senjata Jepang
Di beberapa wilayah, pelucutan senjata tentara Jepang dapat dilakukan tanpa kekerasan namun di Semarang justru terjadi kekacauan. Kido Butai, pusat ketentaraan Jepang di Jatingaleh Semarang curiga bahwa senjata – senjata tersebut tidak akan digunakan untuk melawan Jepang. Kecurigaan itu tetap ada walaupun Mr. Wongsonegoro telah menjaminnya sebagai Gubernur. Permintaan yang diulang untuk menyerahkan senjata hanya menghasilkan pengumpulan senjata – senjata yang sudah agak usang. Ketika sekutu mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa, Pemuda Semarang dan BKR semakin curiga. Dikhawatirkan bahwa Jepang akan menyerahkan senjata kepada Sekutu dan Indonesia harus mendapatkan kesempatan menyita senjata tersebut sebelum sekutu mencapai Semarang. Kondisi semakin memanas ketika tawanan Jepang yang dipindahkan dari Cepiring ke Bulu, kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai.
- Isu Racun Pada Air Minum
Setelah tawanan Jepang melarikan diri, para pemuda diinstruksikan untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara pada 14 Oktober 1945 pukul 06.30. Pemeriksaan itu menghasilkan penyitaan sedan dan senjata milik Kempetai, lalu sore harinya tentara Jepang yang tersisa ditawan ke penjara Bulu. Pukul 18.00 terjadi serangan mendadak dari pasukan Jepang bersenjata lengkap dan melucuti delapan anggota polisi istimewa yang sedang menjaga Reservoir Siranda, sumber air minum warga kota di Candilama. Kedelapan anggota polisi dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, kemudian tersebar kabar bahwa tentara Jepang sudah meracuni sumber air minum tersebut yang membuat rakyat gelisah. Kala itu cadangan air di Candi, desa Wungkal tersebut adalah satu – satunya sumber air di Semarang.
- Gugurnya dr. Kariadi
Setelah berita mengenai racun tersiar, dr. Kariadi sebagai Kepala Laboratorium RS Purusara hendak memastikan kabar tersebut. Ia pergi kesana dalam situasi yang sangat berbahaya karena waktu itu tentara Jepang telah menyerang beberapa lokasi termasuk rute menuju reservoir. drg. Soenarti, istrinya mencoba mencegah namun tidak berhasil. Mobil dr. Kariadi dicegat oleh tentara Jepang dalam perjalanan menuju reservoir di Jalan Pandanaran. Dr. Kariadi ditembak bersama supirnya, seorang tentara pelajar. Beliau dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan. Dr. Kariadi gugur pada usia 40 tahun lebih satu bulan.
Mulainya Peristiwa Lima Hari Di Semarang
Peristiwa 5 hari di Semarang terjadi menjelang hari Minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Kondisi kota Semarang saat itu sangat mencekam terutama di area pos BKR dan para pemuda. Pasukan Pemuda yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan lainnya juga telah berjaga – jaga. Jepang dibantu oleh 675 orang pasukan, yang singgah ke Semarang untuk menambah logistik dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta dan berpengalaman di medan perang Irian. Kondisinya sangat kontras dari para pejuang Indonesia yang lebih mengandalkan keberanian dibandingkan dengan Jepang yang persenjataannya lebih lengkap. Pasukan para pemuda sama sekali belum pernah bertempur, jarang mendapatkan pelatihan militer kecuali pelatihan untuk pasukan Polisi Istimewa, mereka adalah anggota BKR dan eks PETA, serta hampir tidak bersenjata.
Tanggal 15 Oktober 1945 pukul 03.00 pasukan Kidobutai menyerang mendadak ke markas BKR Semarang, di kompleks bekas sekolah MULO di Mugas, belakang bekas pom bensin Pandanaran. Tiba – tiba pasukan Kidobutai menyerang dari sebuah bukit rendah di belakang markas. Mereka diperkirakan berjumlah 400 orang dan menyerang dari dua arah menggunakan tembakan pelempar granat dan senapan mesin. Setelah perlawanan selama setengah jam, pemimpin BKR mengundurkan diri dan meninggalkan markas untuk menghindari kepungan Jepang. Pasukan bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan para pemuda dari Pati, lalu menyerang balasan dengan sengit kepada Jepang yang telah menguasai berbagai lokasi penting dalam kota.
Pasukan Indonesia menggunakan taktik gerilya kota untuk menghindari pertempuran terbuka, dengan serangan tiba – tiba dan juga menghilang secara tiba – tiba. Berkat taktik tersebut serangan kepada Jepang selalu datang dalam bentuk bergantian dan bergelombang, sehingga serangan tidak dapat diprediksi dan menyulitkan Jepang untuk menguasai kota. Diperkirakan sekitar 2 ribu orang tentara Jepang menggunakan senjata – senjata modern terlibat dalam peristiwa 5 hari di Semarang tersebut. Simpang Lima adalah lokasi paling sering terjadi pertempuran. Disana merupakan lokasi monumen Tugu Muda saat ini yang juga berkaitan dengan sejarah Lawang Sewu sebagai saksi bisu pertempuran. Lawang Sewu juga menjadi salah satu bangunan bersejarah di Semarang yang masih berdiri hingga sekarang.
Peristiwa pertempuran Ambarawa
Komentar
Posting Komentar